<< Kembali ke Laman Review Kebijakan Kardiovaskular
Rabu, 12 Februari 2025
PKMK-Yogyakarta. Pada Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK-KMK UGM menyelenggarakan webinar bertajuk Review Kebijakan Penyakit Kardiovaskular Tahun 2024 Berbasis Transformasi Sistem Kesehatan dan Outlook 2025. Acara ini merupakan bagian dari rangkaian Annual Scientific Meeting FK-KMK UGM 2025 dan bertujuan untuk mengevaluasi kebijakan pelayanan penyakit kardiovaskular yang telah diimplementasikan pada 2024, serta menyusun strategi kedepan guna memperkuat penanganan penyakit kardiovaskular di Indonesia pada Rabu (12/2/2025). Webinar yang dilaksanakan secara daring via Zoom ini dihadiri oleh berbagai pemangku kepentingan, termasuk pengambil kebijakan, akademisi, penyedia layanan kesehatan, peneliti, dan masyarakat umum.
Diskusi kebijakan yang dimoderatori oleh dr. Aulia Safira dibuka dengan pengantar dari Prof. Laksono Trisnantoro, MSc., PhD. Pihaknya menyoroti strategi pengendalian penyakit jantung di berbagai tingkat pemerintahan menggunakan Dashboard Sistem Kesehatan (DaSK), yang berfungsi sebagai inovasi berbasis data untuk mendukung pengambilan keputusan. Permasalahan utama yang dibahas meliputi meningkatnya jumlah penderita jantung, lonjakan biaya klaim BPJS, dan keterbatasan tenaga medis spesialis. Ketimpangan akses layanan kesehatan di daerah terpencil mencerminkan ketidakadilan dalam sistem kesehatan. Oleh karena itu, pendekatan transdisipliner yang melibatkan berbagai bidang keilmuan dan kolaborasi lintas sektor diperlukan. Manfaat DaSK dalam penelitian dan kebijakan juga dibahas, dengan fokus pada evaluasi tahunan kebijakan kesehatan. UGM dan mitra berencana menerbitkan Review Kebijakan Jantung 2024 dan Outlook 2025 untuk mendukung transformasi sistem kesehatan yang lebih adil dan berbasis bukti.
Selanjutnya, dr. Luqman Hakim, MPH, peneliti PKMK FK-KMK UGM, memaparkan tentang penggunaan platform digital DaSK untuk me-review kebijakan penanganan penyakit kardiovaskular. Menurut Survei Kesehatan Indonesia tahun 2023, prevalensi penyakit jantung nasional 0,85% per 1.000 penduduk dan menjadi penyebab kematian nomor satu di Indonesia. Dari tahun 2021 hingga 2023, terjadi peningkatan drastis jumlah kunjungan pasien untuk pelayanan penyakit jantung di FKTL dengan 5 provinsi dengan biaya klaim penyakit jantung tertinggi: Jawa Barat, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara.
Menurut Luqman, selain beban penyakit tinggi dan biaya layanan yang mahal, tantangan lainnya yakni distribusi pelayanan jantung yang belum adil dan merata. Hal ini dibuktikan dengan layanan Cath-Lab yang ada di FKTL untuk pelayanan jantung belum merata. Cath-Lab baru tersedia di 28 provinsi, 6 provinsi belum memiliki Cath-Lab untuk pelayanan jantung dimana sebagian besar Cath-Lab terkonsentrasi di Jawa, Bali dan Sumatera. Selain sarana prasarana layanan, SDM dan alat kesehatan juga menjadi isu yang terkait dengan penanganan penyakit jantung di Indonesia.
Maka dari itu, PKMK menawarkan pengendalian penyakit jantung di tingkat daerah menggunakan prinsip Transformasi Kesehatan dengan penggunaan platform DaSK. Platform ini diharapkan dapat digunakan untuk analisis kebijakan transdisiplin dengan visualisasi data yang informatif dalam penyusunan laporan yang menunjukkan kemajuan, stagnasi, atau kemunduran penanganan penyakit jantung di level pusat, provinsi, atau kabupaten/kota. Platform ini juga diharapkan dapat digunakan sebagai dasar oleh pemangku kepentingan dalam pengambilan kebijakan pada tingkat pusat maupun daerah.
Pada sesi ini, materi yang dipaparkan oleh pembahasan pertama adalah dr. Real Kusumanjaya Marsam, M.Kes Sp.JP (K) dari Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskuler, Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada, memberikan gambaran yang komprehensif mengenai potret kesehatan jantung di Indonesia serta proyeksi layanan di tahun 2025. Real, menyoroti kondisi layanan jantung di Indonesia. Penyakit kardiovaskular menjadi penyebab kematian tertinggi, dengan 14,4% kasus disebabkan oleh penyakit jantung dan pembuluh darah.
Saat ini, terdapat ketimpangan dalam distribusi fasilitas dan tenaga medis. Dari 250 catheterization lab (Cath Lab) yang tersedia, mayoritas masih terkonsentrasi di Sumatera, Jawa, dan Bali. Kesenjangan ini juga terlihat dalam jumlah dokter spesialis jantung yang lebih banyak berada di sekitar pusat pendidikan kedokteran. Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah menjalankan transformasi sistem kesehatan dengan fokus pada pemerataan SDM dan infrastruktur. Program fellowship luar negeri telah mengirimkan 38 dokter jantung untuk pelatihan, dengan target kembali mengabdi pada 2026. Selain itu, program PPDS telah diperluas ke Rumah Sakit Harapan Kita dan rumah sakit vertikal lainnya untuk mencetak lebih banyak dokter jantung. Melalui sinergi antara pemerintah pusat, daerah, dan rumah sakit, diharapkan layanan kesehatan jantung dapat lebih merata dan berkelanjutan, sehingga seluruh masyarakat, termasuk di daerah terpencil, dapat memperoleh akses layanan jantung yang berkualitas.
Kemudian, pembahas kedua yaitu dr. Obrin Parulian, M.Kes (Direktur Pelayanan Klinis Kemenkes RI). Obrin membahas dari sudut pandang “Penguatan Layanan Rujukan untuk Penyakit Kardiovaskular: Review Kebijakan Kesehatan Jantung dan Overview 2025”. Obrin menyoroti pelayanan pada penyakit yang menjadi layanan prioritas saat ini merupakan kelompok penyakit penyebab kematian tertinggi selama 10 tahun terakhir dan Kelompok penyakit yang menimbulkan beban pembiayaan terbesar dimana 80% dari seluruh biaya katastropik pada KJSU.
Maka dari itu, Kementerian Kesehatan sedang mengupayakan program jejaring pengampuan pelayanan kesehatan rujukan pada penyakit KJSU. Ketentuan lebih lanjut tentang Pedoman Penyelenggaraan Rumah Sakit Jejaring saat ini diatur dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 174 tahun 2024 tentang Pedoman Penyelenggaraan Rumah Sakit Jejaring Pengampuan Pelayanan Kesehatan Prioritas. Penyelenggaraan Program Jejaring layanan Prioritas untuk Pemerataan layanan rujukan ditargetkan mencapai 100% kabupaten/ kota di 2027 yang terdri dari 1 RS tingkat Paripurna/ Utama di 34 Provinsi dan 1 RS tingkat Madya di 514 kabupaten/ kota dengan mekanisme secara berjenjang oleh RS dengan strata lebih tinggi terhadap RS dengan strata lebih rendah.
Untuk mengakselerasi Program Jejaring Pengampuan layanan Prioritas, telah terdapat dukungan dari Kementerian Keuangan dan Kementerian dalam Negeri yang tertuang dalam Nota Kesepahaman 3 Menteri. Hal ini dilakukan dalam upaya pemenuhan SDM, Prasarana dan Alat Kesehatan bagi rumah sakit yang termasuk dalam jejaring pengampuan KJSU.
Pembahas ketiga, dr. Benedicta Clementia Herlina Rahangiar, MARS, dari Dinas Kesehatan Provinsi Papua Selatan, menyampaikan tanggapannya dalam sesi diskusi kebijakan dengan tema “Kebijakan dan Implementasi Pelayanan Penyakit Kardiovaskular di Daerah Terpencil: Tantangan Pemenuhan SDMK Jantung”. Dalam paparannya, Benedicta menyoroti berbagai tantangan dalam penyediaan layanan kesehatan jantung di Papua Selatan, yang merupakan provinsi baru hasil pemekaran Papua.
Dengan luas sekitar 120.000 km² dan populasi sekitar 547.000 jiwa, Papua Selatan menghadapi tantangan geografis yang besar, termasuk akses transportasi yang sulit dan keterbatasan fasilitas kesehatan. Saat ini, provinsi ini hanya memiliki satu dokter spesialis jantung yang bertugas di RSUD Merauke, sementara tiga rumah sakit lainnya masih mengalami kekurangan tenaga medis dan infrastruktur yang memadai. Akibatnya, banyak pasien jantung terpaksa dirujuk ke luar provinsi untuk mendapatkan perawatan yang lebih baik.
Selain kendala tenaga medis dan fasilitas, tingkat kesadaran masyarakat untuk melakukan skrining awal penyakit jantung juga masih rendah. Hal ini menjadi tantangan dalam upaya deteksi dini dan pencegahan penyakit kardiovaskular. Untuk mengatasi permasalahan ini, pemerintah daerah telah mengimplementasikan berbagai strategi, termasuk program afirmasi pendidikan dokter umum dan spesialis, penugasan tenaga kesehatan melalui program Nusantara Sehat, serta pemberian insentif bagi dokter spesialis agar bersedia bertugas di Papua Selatan.
Sebagai langkah strategis, pemerintah Papua Selatan juga menjalankan program Ha-Anim Sehat, yang bertujuan untuk menempatkan tenaga kesehatan di daerah terpencil yang belum memiliki layanan memadai. Dalam jangka panjang, RSUD Merauke tengah mempersiapkan pembangunan catheterization lab (Cat Lab) yang ditargetkan beroperasi pada 2026. Namun, masih diperlukan pelatihan tenaga medis yang memadai agar fasilitas ini dapat berfungsi optimal.
Pihaknya menekankan bahwa peningkatan akses layanan kesehatan jantung di Papua Selatan memerlukan sinergi antara pemerintah pusat, daerah, dan mitra kesehatan lainnya. Upaya seperti skrining awal, kerja sama dengan rumah sakit di luar Papua Selatan, serta penguatan kebijakan berbasis kebutuhan lokal diharapkan dapat mempercepat pemerataan pelayanan kesehatan bagi masyarakat di daerah terpencil.
Pembahas terakhir yakni Ns. Waryono, SIP, S.Kep, M.Kes (Kabid Pelayanan Kesehatan Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta). Waryono menyampaikan terkait kondisi dan pelayanan penyakit jantung yang ada di Kota Yogyakarta. Ia, menyampaikan pentingnya optimalisasi kuota pelayanan di rumah sakit guna mempercepat akses layanan bagi pasien. Kuota ini diharapkan dapat meningkatkan efisiensi pelayanan serta memastikan pasien mendapatkan perawatan tepat waktu.
Selain itu, disampaikan bahwa dalam kondisi darurat (emergency), penting bagi rumah sakit untuk segera berkoordinasi agar tidak terjadi keterlambatan dalam penanganan pasien. Dengan komunikasi yang baik, rumah sakit dapat menghindari penilaian buruk dalam sistem evaluasi pelayanan kesehatan serta memastikan kualitas pelayanan tetap terjaga. Diharapkan, dengan adanya sistem kuota yang terkelola dengan baik dan koordinasi yang efektif, rumah sakit dapat memberikan pelayanan yang lebih cepat, efisien, dan berkualitas bagi masyarakat.
Reporter: Fajrul Falah dan Indra Komala R.N.
Tag: SDG 3, SDG 17