Webinar Menerjemahkan Hasil Riset
untuk Proses Kebijakan melalui Policy Brief
Rangkaian webinar penelitian kebijakan untuk para dosen Poltekkes
7 Februari 2024
Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc, Ph.D., selaku Guru Besar dan Pakar Bidang Kebijakan Kesehatan, Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan (FK-KMK) UGM memberikan pengantar pada Seri ke-3 Webinar Penelitian Kebijakan untuk Para Dosen Poltekkes menyampaikan bahwa teman-teman Poltekkes telah hadir dalam webinar perlu diberikan opsi untuk mengikuti webinar secara perorangan, meskipun dianjurkan untuk membentuk kelompok. Meskipun ada ujian perorangan, kelompok juga diperbolehkan.
Dosen menekankan pentingnya berpartisipasi dalam kelompok, tetapi para dosen memahami bahwa beberapa peserta mungkin tidak memiliki kelompok. Selama sesi, mereka memasuki topik kebijakan publik, membahas bagian-bagian penting dari proses kebijakan, dimana hasil riset dan analisis disampaikan. Mereka juga membahas hasil angket minggu sebelumnya yang dapat menjadi landasan untuk pembahasan dalam konteks kebijakan. Webinar ini mencatat partisipasi aktif dari sekitar 500 peserta dari 1000 yang terdaftar. Dosen menyampaikan pentingnya pembuatan proposal bersifat multicenter untuk penelitian atau implementasi, seperti contoh riset implementasi dalam menggunakan alat antropometri.
Sebelum memulai sesi webinar, Tri Muhartini, MPA., selaku peneliti PKMK FK-KMK UGM menyampaikan hasil pengisian angket evaluasi yang telah diisi oleh peserta pertemuan webinar sebelumnya bahwa hasil angket menunjukkan peningkatan pemahaman peserta setelah mengikuti webinar dari pertemuan sebelumnya. Dari 346 peserta yang mengisi angket, terlihat bahwa sebelum webinar, 63% peserta tidak memahami pertanyaan riset implementasi, namun setelahnya, jumlah peserta yang memahami meningkat menjadi 78%, sementara yang sangat paham naik dari 2% menjadi 20%.
Pemahaman tentang peran riset implementasi dalam siklus kebijakan juga mengalami peningkatan, dari 21% sebelum webinar menjadi 78% setelahnya. Pemahaman peserta mengenai contoh-contoh metode penelitian juga meningkat, dan pemahaman tentang outcome dari implementasi kebijakan mengalami perubahan positif secara signifikan. Meskipun masih ada peserta yang belum memahami beberapa aspek, secara keseluruhan, webinar ini membawa peningkatan pemahaman peserta terkait implementasi kebijakan dan metode penelitian. Evaluasi ini memberikan dasar untuk tindakan selanjutnya dan menunjukkan bahwa ada potensi perbaikan pada karakteristik implementasi yang masih perlu ditingkatkan untuk mencapai tingkat pemahaman yang lebih tinggi.
Narasumber pertama, Shita Listyadewi, MPP., selaku Kepala Divisi Public Health PKMK FK-KMK UGM menyatakan bahwa bagaimana kita menerjemahkan hasil riset untuk proses kebijakan melalui policy brief. Shita yakin Indonesia memiliki banyak riset-riset yang telah dilakukan, dan pihaknya juga yakin bahwa ada terbersit keinginan hasil riset tersebut dimanfaatkan oleh para pengambil kebijakan. Webinar pada pagi hari ini sangat cocok bagi peserta karena akan membantu para peserta memperoleh pemahaman dasar mengenai cara menerjemahkan hasil-hasil tersebut untuk proses kebijakan.
Kita akan membahas tiga hal, pertama, peran evidence dalam proses penyusunan kebijakan; kedua, pemahaman tentang knowledge translation; dan ketiga, strategi penggunaan policy brief untuk mempengaruhi proses pengusungan kebijakan. Perlu diingat bahwa evidence policy menjadi isu yang disorot belakangan ini, dimana evidence harus menjadi dasar pengambilan kebijakan. Namun, hal ini tidak selalu mudah karena adanya faktor-faktor lain seperti konteks politik, nilai-nilai yang berbeda, dan ketersediaan sumber daya yang mempengaruhi penerimaan dan pemanfaatan evidence oleh para pengambil kebijakan. Oleh karena itu, diperlukan strategi knowledge translation untuk mendekatkan para peneliti dengan para pengambil kebijakan agar bukti-bukti penelitian dapat bermanfaat dalam proses kebijakan.
Narasumber kedua, Tri Muhartini, MPA., selaku peneliti PKMK FK-KMK UGM menyatakan bahwa pada dasarnya, policy brief sering didefinisikan sebagai dokumen ringkas atau ringkasan kebijakan, juga dikenal sebagai produk kebijakan di Kementerian Kesehatan. Policy brief awalnya adalah ringkasan kebijakan yang sering menjelaskan evidence atau hasil penelitian dalam bentuk grafik dan teks. Policy brief memiliki tujuan untuk memberikan informasi kepada pengambil keputusan tentang masalah yang perlu diperhatikan dan mendorong mereka untuk mengambil tindakan sesuai dengan rekomendasi yang disampaikan.
Dalam penyusunan policy brief, penting untuk memperhatikan standar dokumen, baik yang umum maupun kompleks, dan memperhatikan faktor penyebab masalah serta opsi kebijakan yang diajukan. Policy brief dapat disusun oleh lembaga penelitian, kelompok advokasi, lembaga pemerintah, atau lembaga internasional, dan ditujukan terutama kepada pembuat kebijakan, birokrasi pelaksanaan, dan akademisi. Dalam penyusunan policy brief, strategi advokasi perlu diterapkan, dengan memperhatikan faktor penyebab masalah, ukuran masalah, dan rekomendasi kebijakan yang spesifik. Standar dokumen policy brief yang kompleks dapat membantu dalam proses dialog kebijakan dan strategi advokasi yang lebih efektif.
Di akhir sesi, terdapat beberapa pertanyaan dari peserta. Pertanyaan pertama Dewi Aryani dari Poltekkes Tasikmalaya, “Mohon diberi penjelasan yang spesifik atau best practice mengenai dialog kebijakan (khususnya perbedaan dengan FGD)?”. Shita Listyadewi menjawab, “FGD merupakan teknik pengumpulan data dalam penelitian kualitatif yang bertujuan untuk menggali informasi dari para informan yang diundang ke dalam sesi diskusi. Namun, dalam konteks dialog kebijakan, kegiatan ini lebih spesifik dan difokuskan pada isu kebijakan. Dialog kebijakan membahas secara mendalam isu kebijakan tertentu dengan tujuan yang jelas terkait pembahasan kebijakan tersebut.
Perbedaan mendasar terletak pada fokus dan tujuan yang lebih jelas dalam dialog kebijakan dibandingkan dengan FGD yang lebih berorientasi pada pengumpulan informasi. Meskipun ada banyak perbedaan dalam pelaksanaannya, webinar ini menjadi peluang bagi peserta untuk mendalami topik tersebut lebih lanjut. Dengan demikian, perbedaan utama terletak pada tujuan, fokus, dan output yang dihasilkan dari kedua kegiatan tersebut”. Selain itu, Tri Muhartini juga menambahkan, “Jika kita melibatkan diri dalam dialog kebijakan, perlu diingat bahwa ini adalah suatu proses yang sangat berbeda dengan politik konvensional. Berdasarkan pengalaman kami, praktek yang umum dilakukan pada tahap akhir dialog kebijakan adalah mencapai suatu kesepakatan dengan pengambil keputusan terkait rekomendasi dan opsi kebijakan yang telah kita ajukan. Dalam konteks ini, kita berupaya memastikan bahwa pemangku kepentingan dan pengambil keputusan yang diundang dapat mencapai kesepakatan untuk mengadopsi salah satu opsi kebijakan yang telah diusulkan”.
Pertanyaan kedua Asrie Abu dari Poltekkes Mamuju, “Apakah judul policy brief dapat dimodifikasi atau dibuat sedikit berbeda dengan judul primary research-nya?”. Shita Lisyadewi menjawab “Policy brief yang merupakan ringkasan penelitian, dapat berbeda dengan judul penelitian utama. Ini disebabkan oleh perbedaan dalam sifatnya. Ringkasan penelitian tentu harus memiliki judul yang sama persis dengan penelitian utama yang dilakukan. Namun, dalam konteks policy brief, judulnya diperbolehkan untuk berbeda, bahkan sebaiknya berbeda.
Hal ini dikarenakan sulit membayangkan apakah judul policy brief yang sama persis dengan penelitian utama dapat memberikan motivasi kepada pengambil kebijakan untuk bertindak. Nature dari policy brief sendiri menuntutnya untuk dapat memotivasi pengambil kebijakan dalam melakukan suatu tindakan. Sehingga, judul policy brief cenderung membahas tema, isi, atau permasalahan di dalam suatu isu yang berbeda.
Singkatnya, judul policy brief sebaiknya berbeda dengan judul penelitian utama, mencerminkan sifatnya yang lebih bersifat motivasional dalam memicu tindakan”. Tri Muhartini juga menambahkan, “Dalam melaksanakan kebijakan tersebut, penting untuk menciptakan judul policy brief yang sesuai. Berdasarkan pengalaman pribadi, seringkali judul policy brief yang dibuat berbeda dengan judul penelitian yang dilakukan. Dalam konteks ini, policy brief-nya pun bisa lebih dari satu, tergantung pada temuan dan konteks penelitian.
Sebagai contoh, dalam penelitian inklusivitas yang pernah saya lakukan, kita memecah hasil penelitian menjadi beberapa policy brief berdasarkan konteks daerahnya, terutama karena advokasi ditujukan kepada pemerintah daerah. Oleh karena itu, jumlah policy brief dapat disesuaikan dengan konteks penelitian dan target advokasi yang kita miliki”.
Reporter: Agus Salim, MPH.
(Divisi Public Health, PKMK UGM)
Leave a Reply